DUNIA sedang diguncangkan dengan pandemi virus COVID-19! Semua fundamen dan postulat yang membangun peradaban dunia sedang goyah dan diuji sampai ke akar-akarnya. Tidak hanya bangsa Indonesia, umat manusia lantas memahami dan memperlakukan ekonomi, politik, hukum, bahkan agama dengan cara yang sama sekali berbeda. sebagian besar –jika tidak seluruhnya -- cara kita berpikir, berkomunikasi dan berinteraksi menjadi sama sekali berbeda.
Wabah ini pada gilirannya memaksa kita mengakui betapa rapuhnya sistem peradaban yang kita bangun selama ini. Demikian rapuhnya, sehingga kita selayaknya menyadari bahwa perubahan sistemik adalah keniscayaan yang mendesak diputuskan dan dilakukan segera, bukan untuk hukum itu sendiri melainkan untuk keselamatan umat manusia secara umum.
Hukum yang baik adalah hukum yang memberi kemaslahatan bagi masyarakat termasuk bagi para penegak hukum itu sendiri dan selaras dengan tujuan hukum itu sendiri. Karena alasan itulah sejak lama hukum telah mengakui bahwa keselamatan umat manusia adalah hukum yang tertinggi sebagaimana disarikan dari asas solus populi suprema les esto. Karenanya, dalam deraan krisis yang mengancam keberlangsungan umat manusia, hukum kita sesungguhnya sedang diuji apakah daya tahan dan daya lenting fundamen hukum kita cukup liat dan kuat untuk tetap bertahan dan mampu menawarkan solusi yang tepat bagi segenap perubahan cara kita menegakkan hukum yang berorientasi pada solus populi tersebut.
Sikap cepat Mahkamah Agung dalam merespon kondisi pandemi COVID-19 ini patut diapresiasi. Sebelum institusi penegak hukum lain bersikap, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lingkungan Mahkamah Agung RI dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya. Edaran itu sedikit banyak bisa menjadi dasar pijakan bagi lembaga peradilan kaitannya dalam proses penegakan hukum pidana.
Tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradilan di Indonesia, proses peradilan dan persidangan diliputi kekhawatiran dan ketakutan sedemikian rupa. Para penegak hukum mulai melihat persidangannya bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga soal bagaimana melindungi dirinya dan masyarakat dari penyakit yang menjadi musuh umat manusia: tidak kasat mata, mudah sekali menular dan belum ditemukan obat atau vaksin pencegahnya. Kekhawatiran itu tidak bisa disebut tidak beralasan. Bukankah menjadi tidak berarti jika kita menerapkan dan menegakkan hukum dengan cara-cara yang justru mengundang ancaman dan bahaya bagi keselamatan jiwa.
Proses penegakan hukum pidana dapat dikatakan sebagai proses hukum yang tahapannya paling panjang dan melibatkan banyak pihak, baik warga negara selaku pelapor, kuasa hukum dan saksi, maupun institusi negara berupa kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan beserta segenap aparatusnya.
Panjangnya tahapan dalam criminal justice sistem ini dahulu dipahami hanya sebagai bentuk perlindungan khususnya bagi mereka yang dituduh melakukan tindak pidana demi memberi fair trial agar tidak salah menghukum mereka yang tidak bersalah.
Pemahaman seperti itu kini tidak lagi menjadi sudut pandang tunggal. Pandemi virus COVID-19 memberi tambahan cara pandang kita bahwa proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak ini di lain sisi juga memperbesar peluang bagi penyebaran virus COVID-19 yang pandemik itu.
Karenanya, perlu dipikirkan tawaran-tawaran solusi agar proses hukum pidana yang panjang itu tetap dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan pihak-pihak yang terkait di dalamnya serta dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19 itu. Tidak hanya proses penyelidikan dan penyidikan yang mungkin harus segera dikaji apabila dilakukan secara elektronik, melainkan juga proses persidangannya harus pula disusun ke arah itu. Asas dalam hukum pidana formil yang ada dalam KUHAP yaitu prinsip hadirnya terdakwa dalam proses persidangan sepertinya sudah harus dikaji ulang.
Dalam pemeriksaan perkara biasa, KUHAP secara tegas menyatakan “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali ditentukan lain” (Pasal 196 ayat 1). Kehadiran terdakwa semakin ditegaskan keharusannya karena ada ketentuan yang mewajibkan kepada hakim untuk memberitahukan terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya atas suatu putusan (vide pasal 196 ayat 3 KUHAP). Memahami ketentuan Pasal 196 tersebut, banyak kalangan menyatakan kedua pasal tersebut haruslah dibaca secara an sich artinya tidak dimungkinkan hakim menjatuhkan putusan tanpa kehadiran terdakwa.
Keadaan luar biasa selayaknya disikapi dengan cara-cara yang tidak biasa, sama halnya masalah besar seringkali menuntut kita melakukan tindakan-tindakan besar. Dalam cara pikir itu, menjadi dapat dimaklumi beberapa pengadilan telah menerapkan persidangan pidana dengan menggunakan teknologi informasi yang meminimalisasi kontak fisik dan secara drastis menurunkan jumlah massa yang berkumpul di satu tempat. Peluang ke arah itu sesungguhnya telah dirintis dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksaan Sidang Elektronik (e-court dan e-litigasi) meskipun tidak secara spesifik menyentuh sistem peradilan pidana.
Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun telah menggelar sidang via video-conference (vi-con). Sidang kasus narkotika dengan terdakwa Harifudin digelar tanggal 18 Maret 2020. Saat sidang terdakwa berada di Aula Rumah Tahanan (Rutan) kelas II B Tanjung Balai Karimun, sementara majelis hakim dan penasihat hukum terdakwa berada di ruang sidang, sementara jaksa dari kantor Kejari, dari tiga tempat yang berbeda itu dilakukan sidang secara vi-con.
Pengadilan Negeri Jakarta Utara juga melakukan hal serupa. Pada Selasa 24 Maret 2020, terdakwa tidak perlu dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, cukup dari Lapas Cipinang dilakukan sidang Vicon. demikian juga, Pengadilan Negeri Bangkinang. Sidang perkara-perkara pidana pada hari Selasa tanggal 24 Maret 2020 dilaksanakan via vi-con, saat sidang terdakwa berada di ruang Lapas Kelas I B Bangkinang, jaksa di ruang Kejaksaan Negeri Kampar, dan yang berada di ruang sidang hanya majelis hakim beserta panitera pengganti juga penasihat hukum terdakwa dengan tetap mempertimbangkan physical distancing antar individu dalam ruang sidang.
Meskipun sepintas terdengar baru, contoh-contoh itu sesungguhnya bukanlah pertama kalinya sidang pidana dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Tahun 2002 mantan Presiden BJ Habibie tercatat memberikan keterangan sebagai saksi melalui video-conference dalam sidang Abu Bakar Ba’asyir.
Dalam diskursus hukum, persoalan ini sebaiknya tidak dikerdilkan dengan sekadar perdebatan apakah sidang pidana dapat dilakukan secara in-absentia ataukah harus dengan hadirnya terdakwa semata. Perlu juga dikaji secara hukum apakah kehadiran terdakwa melalui sarana elektronik dapat disamakan dengan kehadirannya secara fisik di ruang sidang. Jika kita bersamaan pendapat bahwa hadirnya seorang terdakwa secara elektronik dapat disamakan dengan hadirnya secara fisik, maka apakah persidangan harus dilakukan secara presencia atau in-absentia menjadi nisbi untuk diperdebatkan.
Meskipun rintisan sidang pidana secara elektronik telah digaungkan dan diujicobakan, namun atas nama tertib hukum selayaknya praktik yang demikian itu dapat diberikan dasar atau payung hukumnya baik berupa Peraturan Mahkamah Agung, PerPPu maupun Undang-Undang mengingat sikap-sikap yang dicontohkan di atas semua berkaitan dengan hukum formil belaka.
Berkaca pada situasi krisis ini, tidakkah layak kita pikirkan kemungkinan model penegakan hukum pidana dalam keadaan darurat, atau dimasukkannya ketentuan khusus dalam rancangan KUHP yang mengatur perihal keselamatan umum disamping ketentuan tentang ketertiban umum yang telah diatur dalam KUHP.
Akhirnya, setiap ikhtiar yang dilandasi niat baik dalam menjawab kebuntuan proses penegakan hukum haruslah diapresiasi dan dianggap sebagai sumbangsaran untuk mewujudkan sistem peradilan yang maju, modern dan tetap meletakkan keselamatan umat manusia sebagai tujuan tertingginya.
Kita tidak sedang dalam kancah revolusi, melainkan sedang bergandengan tangan menghadapi salah satu ujian terberat bagi kemanusiaan. Karenanya, kutipan Bung Karno atas pidato Liebknecht met juristen kan je revolutie maken tidak perlu membayangi dan menyurutkan ikhtiar para ahli-ahli hukum itu (*)