-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Pan­demi COVID-19: Re-Think­ing Proses Pene­gakan Hukum Pi­dana di In­done­sia

| April 11, 2020 WIB



Oleh: Meni War­lia 
Hakim Pen­gadi­lan Negeri  Bangk­i­nang

DUNIA sedang di­gun­cangkan den­gan pan­demi virus COVID-19! Se­mua fun­damen dan pos­tu­lat yang mem­ban­gun per­ad­a­ban dunia sedang goyah dan di­uji sam­pai ke akar-akarnya. Tidak hanya bangsa In­done­sia, umat manu­sia lan­tas mema­hami dan mem­per­lakukan ekonomi, poli­tik, hukum, bahkan agama den­gan cara yang sama sekali berbeda. se­ba­gian be­sar –jika tidak selu­ruh­nya -- cara kita berpikir, berko­mu­nikasi dan berin­ter­aksi men­jadi sama sekali berbeda.
Wabah ini pada gili­ran­nya memaksa kita men­gakui be­tapa ra­puh­nya sis­tem per­ad­a­ban yang kita ban­gun se­lama ini. Demikian ra­puh­nya, se­hingga kita se­layaknya menyadari bahwa pe­ruba­han sis­temik adalah kenis­cayaan yang mende­sak dipu­tuskan dan di­lakukan segera, bukan un­tuk hukum itu sendiri melainkan un­tuk ke­se­la­matan umat manu­sia se­cara umum.
Hukum yang baik adalah hukum yang mem­beri ke­masla­hatan bagi masyarakat ter­ma­suk bagi para pene­gak hukum itu sendiri dan se­laras den­gan tu­juan hukum itu sendiri. Karena alasan it­u­lah se­jak lama hukum telah men­gakui bahwa ke­se­la­matan  umat manu­sia adalah hukum yang tert­inggi se­ba­gaimana dis­arikan dari asas so­lus pop­uli suprema les esto. Kare­nanya, dalam de­r­aan kri­sis yang men­gan­cam ke­ber­lang­sun­gan umat manu­sia, hukum kita sesung­guh­nya sedang di­uji apakah daya tahan dan daya lent­ing fun­damen hukum kita cukup liat dan kuat un­tuk tetap berta­han dan mampu menawarkan so­lusi yang tepat bagi sege­nap pe­ruba­han cara kita mene­gakkan hukum yang beror­i­en­tasi pada so­lus pop­uli  terse­but.
Sikap cepat Mahkamah Agung dalam mere­spon kon­disi pan­demi COVID-19 ini patut di­apre­si­asi. Se­belum in­sti­tusi pene­gak hukum lain bersikap, Mahkamah Agung telah mener­bitkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2020 ten­tang Pe­do­man Pelak­sanaan Tu­gas Se­lama Masa Pence­ga­han Penye­baran Corona Virus Dis­ease 2019 (COVID-19) di lingkun­gan Mahkamah Agung RI dan Badan Peradi­lan yang be­rada di bawah­nya. Edaran itu sedikit banyak bisa men­jadi dasar pi­jakan bagi lem­baga peradi­lan kai­tan­nya dalam proses pene­gakan hukum  pi­dana.
Tidak per­nah ter­jadi se­belum­nya dalam se­jarah peradi­lan di In­done­sia, proses peradi­lan dan per­si­dan­gan diliputi kekhawati­ran dan ke­taku­tan sedemikian rupa. Para pene­gak hukum mu­lai meli­hat per­si­dan­gan­nya bukan hanya soal mene­gakkan hukum, tetapi juga soal bagaimana melin­dungi dirinya dan masyarakat dari penyakit yang men­jadi musuh umat manu­sia: tidak kasat mata, mu­dah sekali menu­lar dan belum dite­mukan obat atau vaksin pence­gah­nya. Kekhawati­ran itu tidak bisa dise­but tidak be­ralasan. Bukankah men­jadi tidak be­rarti jika kita men­er­ap­kan dan mene­gakkan hukum den­gan cara-cara yang jus­tru men­gun­dang an­ca­man dan ba­haya bagi ke­se­la­matan jiwa.
Proses pene­gakan hukum pi­dana da­pat dikatakan se­ba­gai proses hukum yang taha­pan­nya pal­ing pan­jang dan meli­batkan banyak pi­hak, baik warga ne­gara se­laku pela­por, kuasa hukum dan saksi, maupun in­sti­tusi ne­gara berupa ke­polisian, ke­jak­saan, dan pen­gadi­lan be­serta sege­nap apara­tus­nya. 
Pan­jangnya taha­pan dalam crim­i­nal jus­tice sis­tem ini dahulu di­pa­hami hanya se­ba­gai ben­tuk per­lin­dun­gan khusus­nya bagi mereka yang di­tuduh melakukan tin­dak pi­dana demi mem­beri fair trial agar tidak salah menghukum mereka yang tidak bersalah. 
Pema­haman seperti itu kini tidak lagi men­jadi sudut pan­dang tung­gal. Pan­demi virus COVID-19 mem­beri tam­ba­han cara pan­dang kita bahwa proses yang pan­jang dan meli­batkan banyak pi­hak ini di lain sisi juga mem­perbe­sar pelu­ang bagi penye­baran virus COVID-19 yang pan­demik itu.
Kare­nanya, perlu dipikirkan tawaran-tawaran so­lusi agar proses hukum pi­dana yang pan­jang itu tetap da­pat di­lakukan den­gan tetap men­jamin ke­se­la­matan pi­hak-pi­hak yang terkait di dalam­nya serta dalam rangka memu­tus mata rantai penye­baran virus COVID-19 itu. Tidak hanya proses penye­lidikan dan penyidikan yang mungkin harus segera dikaji apa­bila di­lakukan se­cara elek­tronik, melainkan juga proses per­si­dan­gan­nya harus pula dis­usun ke arah itu. Asas dalam hukum pi­dana formil yang ada dalam KUHAP yaitu prin­sip hadirnya ter­dakwa dalam proses per­si­dan­gan seper­tinya su­dah harus dikaji ulang.
Dalam pe­merik­saan perkara bi­asa, KUHAP se­cara tegas meny­atakan “Pen­gadi­lan memu­tus perkara den­gan hadirnya ter­dakwa ke­cuali di­ten­tukan lain” (Pasal 196 ayat 1). Ke­hadi­ran ter­dakwa se­makin dite­gaskan ke­haru­san­nya karena ada ke­ten­tuan yang mewa­jibkan kepada hakim un­tuk mem­ber­i­tahukan ter­dakwa ten­tang segala apa yang men­jadi haknya atas su­atu pu­tu­san (vide pasal 196 ayat 3 KUHAP).  Mema­hami ke­ten­tuan Pasal 196 terse­but, banyak kalan­gan meny­atakan ke­dua pasal terse­but harus­lah dibaca se­cara an sich artinya tidak dimungkinkan hakim men­jatuhkan pu­tu­san tanpa ke­hadi­ran ter­dakwa.
Keadaan luar bi­asa se­layaknya disikapi den­gan cara-cara yang tidak bi­asa, sama hal­nya masalah be­sar ser­ingkali me­nun­tut kita melakukan tin­dakan-tin­dakan be­sar. Dalam cara pikir itu, men­jadi da­pat di­mak­lumi be­ber­apa pen­gadi­lan telah men­er­ap­kan per­si­dan­gan pi­dana den­gan meng­gu­nakan teknologi in­for­masi yang mem­i­ni­mal­isasi kon­tak fisik dan se­cara drastis menu­runkan jum­lah massa yang berkumpul di satu tem­pat.  Pelu­ang ke arah itu sesung­guh­nya telah dirin­tis den­gan ter­bit­nya Per­at­u­ran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019 ten­tang Tata Cara Pelak­saan Sidang Elek­tronik (e-court dan e-lit­i­gasi) meskipun tidak se­cara spe­si­fik menyen­tuh sis­tem peradi­lan pi­dana.
Pen­gadi­lan Negeri Tan­jung Balai Karimun telah mengge­lar sidang via video-con­fer­ence (vi-con). Sidang ka­sus narkotika den­gan ter­dakwa Har­i­fudin di­ge­lar tang­gal 18 Maret 2020. Saat sidang ter­dakwa be­rada di Aula Rumah Tahanan (Ru­tan) ke­las II B Tan­jung Balai Karimun, se­men­tara ma­jelis hakim dan pe­nasi­hat hukum ter­dakwa be­rada di ru­ang sidang, se­men­tara jaksa dari kan­tor Ke­jari, dari tiga tem­pat yang berbeda itu di­lakukan sidang se­cara vi-con.
Pen­gadi­lan Negeri Jakarta Utara juga melakukan hal serupa. Pada Se­lasa 24 Maret 2020, ter­dakwa tidak perlu dibawa ke Pen­gadi­lan Negeri Jakarta Utara, cukup dari La­pas Cip­inang di­lakukan sidang Vi­con. demikian juga, Pen­gadi­lan Negeri Bangk­i­nang. Sidang perkara-perkara pi­dana pada hari Se­lasa tang­gal 24 Maret 2020 di­lak­sanakan via vi-con, saat sidang ter­dakwa be­rada di ru­ang La­pas Ke­las I B Bangk­i­nang, jaksa  di ru­ang Ke­jak­saan Negeri Kam­par, dan yang be­rada di ru­ang sidang hanya ma­jelis hakim be­serta pan­it­era peng­ganti juga pe­nasi­hat hukum ter­dakwa den­gan tetap mem­per­tim­bangkan phys­i­cal dis­tanc­ing an­tar in­di­vidu dalam ru­ang sidang.
Meskipun sepin­tas ter­den­gar baru, con­toh-con­toh itu sesung­guh­nya bukan­lah per­tama kalinya sidang pi­dana di­lak­sanakan den­gan me­man­faatkan teknologi in­for­masi. Tahun 2002 man­tan Pres­i­den BJ Habi­bie ter­catat mem­berikan keteran­gan se­ba­gai saksi melalui video-con­fer­ence dalam sidang Abu Bakar Ba’asyir.
Dalam diskur­sus hukum, per­soalan ini se­baiknya tidak dik­erdilkan den­gan sekadar perde­batan apakah sidang pi­dana da­pat di­lakukan se­cara in-ab­sen­tia ataukah harus den­gan hadirnya ter­dakwa se­mata. Perlu juga dikaji se­cara hukum apakah ke­hadi­ran ter­dakwa melalui sarana elek­tronik da­pat disamakan den­gan ke­hadi­ran­nya se­cara fisik di ru­ang sidang. Jika kita bersamaan pen­da­pat bahwa hadirnya se­o­rang ter­dakwa se­cara elek­tronik da­pat disamakan den­gan hadirnya se­cara fisik, maka apakah per­si­dan­gan harus di­lakukan se­cara pres­en­cia  atau in-ab­sen­tia men­jadi nisbi un­tuk diperde­batkan.
Meskipun rin­ti­san sidang pi­dana se­cara elek­tronik telah di­gaungkan dan di­u­ji­cobakan, na­mun atas nama tertib hukum se­layaknya prak­tik yang demikian itu da­pat diberikan dasar atau payung hukum­nya baik berupa Per­at­u­ran Mahkamah Agung, PerPPu maupun Un­dang-Un­dang mengin­gat sikap-sikap yang di­con­tohkan di atas se­mua berkai­tan den­gan hukum formil be­laka. 
Berkaca pada situ­asi kri­sis ini, tidakkah layak kita pikirkan ke­mu­ngk­i­nan model pene­gakan hukum pi­dana dalam keadaan daru­rat, atau di­ma­sukkan­nya ke­ten­tuan khusus dalam ran­can­gan KUHP yang men­gatur per­i­hal ke­se­la­matan umum dis­amp­ing ke­ten­tuan ten­tang ketert­iban umum yang telah diatur dalam KUHP.
Akhirnya, se­tiap ikhtiar yang di­lan­dasi niat baik dalam men­jawab ke­bun­tuan proses pene­gakan hukum harus­lah di­apre­si­asi dan di­ang­gap se­ba­gai sum­bangsaran un­tuk mewu­jud­kan sis­tem peradi­lan yang maju, mod­ern  dan tetap mele­takkan ke­se­la­matan umat manu­sia se­ba­gai tu­juan tert­ing­ginya. 
Kita tidak sedang dalam kancah rev­o­lusi, melainkan sedang bergan­den­gan tan­gan meng­hadapi salah satu ujian ter­berat bagi ke­manu­si­aan. Kare­nanya, ku­ti­pan Bung Karno atas pidato Liebknecht met ju­ris­ten kan je rev­o­lu­tie maken tidak perlu mem­bayangi dan menyu­rutkan ikhtiar para ahli-ahli hukum itu (*)