-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Pasukan Kuning, Menjemput Adipura Sejak Subuh Hingga Matahari Bersimpuh

| Februari 24, 2013 WIB
"KALAU tidak karena pasukan kuning, Pekanbaru tidak akan bersih. Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya,"

Kalimat penuh penghargaan tersebut disampaikan Herman Abdullah, saat masih menjadi Wali Kota Pekanbaru ketika disambut usai mewakili Kota Pekanbaru menerima Penghargaan Adipura tahun 2011 untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut, Selasa 7 Juni 2011. 

Herman Abdullah dan Adipura disambut tepuk tangan dan sorak sorai pasukan kuning yang ikut melakukan penyambutan.

 
Pasukan Kuning, menyongsong matahari sejak subuh, membersihkan dan merawat kota





Pasukan kuning adalah mereka yang berstatus Pegawai Harian Lepas (PHL) yang bekerja pada Dinas Kebersihan, Keindahan dan Pemakaman (DKKP). Warna kuning digunakan untuk mendapatkan efek mata bagi para pengguna lalu lintas jalan umum, agar mereka memperhatikan sosok petugas yang tengah menjalankan fungsi sebagai penyapu jalan.

Isnar (55), salah seorang dari kerumunan pasukan kuning yang ikut menyambut Adipura tersebut masih ingat bagaimana rasa bangga itu terselip dalam hatinya. Apalagi dipuji oleh Wali Kota.

“Ada rasa senang dan bangga. Alhamdulillah ternyata pekerjaan kita dihargai,” kenang Isnar yang sudah 4 tahun berturut-turut mengabdi sebagai tenaga harian Lepas (THL) di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Pekanbaru.

Meski tahun ini dikabarkan Kota Pekanbaru gagal meraih penghargaan bergengsi di bidang lingkungan hidup tersebut, namu bagi Isnar dan sekitar 600 THL lainnya, bukan itu yang terpenting. 

 Secara jujur ia mengaku motivasinya bekerja sebagai THL utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Karena jika hanya mengandalkan suami yang bekerja sebagai buruh bangunan (pengecor semen), Isnar mengaku tak akan mencukupi.

“Apalagi anak-anak sudah SMA dan dua orang SMP, biayanya makin hari makin naik,” ujarnya. 

Demi ketiga anaknya tersebut, Isnar rela berangkat usai shalat subuh, saat gelap masih menyelimuti kota. Dengan perlengkapan baju dinas harian berwarna kuning dilengkapi sarana kerja yang mendukung seperti kaos tangan, sepatu dan masker serta sedikit kue atau nasi bila ada sisa semalam. 

Dari rumahnya di daerah Senapelan, ia diangkut dengan sebuah truk menuju kawasan depan Gedung DPRD Riau di Jalan Jenderal Sudirman. Di sana, Isnar mendapat jatah menyapu sampah dari jalanan dan jalur pedistrian.

Suka duka telah dialami Isnar selama bergumul dengan sampah dan hiruk pikuknya lalu lintas jalan raya. Pernah terserempet motor, menyaksikan pengendara berkelahi karena senggolan, melihat pengendara motor dijambret adalah pemandangan yang sering disaksikannya.

Seorang petugas kebersihan THL DKP lain bernama Wiwik mengaku pekerjaan yang dilakoninya sekarang bisa menunjang keuangan keluarga. Dengan gaji suaminya yang tak mencukupi. Uang yang dibawa pulang dari pekerjaan ini sangat membantu. Sebulan ia dapat Rp1.500.000.

 
Pasukan Kuning di Jl Sudirman, Pekanbaru


“Tapi kerjanya tak ada libur, kalau tak masuk dua hari berturut-turut bisa kena espe (Surat Peringatan) satu sampai tiga kali. Kalau tak diindahkan, ya diberhentikan,” ujar Wiwik.

Saat ini untuk pekerja perempuan terbagi dua shif yakni shif 1 mulai pukul 05.00 WIB sampai pukul 11.00 WIB. Lalu shif 2 dari pukul 11.00 WIB sampai jam lima sore. Sementara shif 3 diisi oleh pekerja pria.

Wiwik yang masuk shif 1, mengatakan harus rela meninggalkan tiga anaknya, yang sulung kelas 4 SD dan dua lainnya masih balita. Suaminyalah yang kebagian menjaga anak-anak mereka.

“Suami kerjanya tak menentu, kadang dapat dari pagi, kadang siang, kadang-kadang malah tak kerja seminggu. Kalau kebetulan pagi, anak-anak dititip sama tetangga yang sudah kenal baik,” aku wanita yang beralamat di Marpoyan Damai ini.

 
Terik matahari tak peduli asal kota tetap terjaga kebersihannya


Saat Sentana bertandang ke rumahnya yang berukuran kecil dan sempit di Jalan Kartama, Wiwik mengatakan rumah yang ditempatinya tersebut masih mengontrak Rp250 ribu perbulan. Terlihat dindingnya yang telah retak di sana-sini dengan cat putih terkelupas. Ia agak malu ketika beberapa pakaian, handuk, dan pakaian dalam bergantungan di berbagai paku di dinding.

Pekerja kebersihan lain, Rosmaniar (36) yang bertugas di depan Gedung Taman Budaya Riau di Jalan Jenderal Sudirman mengaku dapat Rp1.300.000 sebulan, tapi tetap menyatakan bersemangat. Sama seperti petugas perempuan lain, ia juga melengkapi wajahnya dengan penutup berupa kain yang dijadikan masker. Selain untuk melindungi wajah dari debu dan panas matahari, sekaligus untuk menghindar dari orang-orang yang mungkin mengenalnya.

“Iyalah, pasti ada rasa malu. Maklumlah banyak famili dan orang kampung saya di sini (Pekanbaru),” alasan perempuan asal Bangkinang ini.

Bagi ketiga perempuan ini, hujan maupun panas adalah kondisi yang biasa mereka rasakan dalam melakukan kewajiban sebagai petugas kebersihan, meyapu jalanan dan mengumpulkan sampah-sampah ke dalam karung plastik yang disediakan.

Gagalnya Kota Pekanbaru meraih Piala Adipura tahun ini tentu tak patut bila penyebabnya ditimpakan kepada Pasukan Kuning ini. Sebab tugas menjaga kebersihan dan merawat kota adalah kewajiban Pemerintah Kota dan seluruh warga kota. Sebab kebanggaan mendapatkan penghargaan adalah milik bersama. Begitupun rasa malu karena gagal meraih penghargaan juga menjadi tanggungan bersama. (Oce E Satria)

dimuat di Harian Pekanbaru MX, Ahad, 24 Februari 2013