Catatan Eka Satria Taroesmantini, wartawan Pekanbaru MX
PERSOALAN keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di kota besar, termasuk kota Pekanbaru seolah sudah menjadi penyakit menahun yang tak kunjung sembuh. Berbagai cerita dan peristiwa menyangkut penertiban PKL hampir setiap hari meghiasi pemberitaan media massa.
Dalam hal ini hanya ada dua kubu yang masing-masing memiliki kepentingannya sendiri, yakni pemerintah kota sebagai penguasa dan kubu pedagang kaki lima (PKL) yang tak punya pilihan leluasa. Namun sejak lama dua pemilik kepentingan ini tidak pernah bisa dipertemukan, masing-masing bersikeras dan bertahan untuk mewujudkannya dengan berbagai alasan dan argumentasi.
Pemerintah Kota menyebut penertiban, sementara pedagang menganggap penertiban adalah penghalusan bahasa dari “penggusuran”.
Pemerintahan Kota (Pemko) Pekanbaru , berlindung di balik aturan Peraturan Daerah (Perda) No 11 Tahun 2001 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda tersebut memberikan payung hukum bagi Pemko melakukan penertiban dengan alasan untuk kepentingan pembangunan usaha dan peningkatan kesejahteraan pedagang kaki lima (PKL). Perda tersebut bahkan sebenarnya memerintahkan Wali Kota untuk melaksanakan kewajiban memberikan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan.
Sayangnya isyarat dari Perda tersebut menjadi klise, terutama di mata para pedagang kaki lima. Pasalnya, sebagai penyelenggara pemerintahan yang berkewajiban melakukan upaya pembangunan kesejahteraan warganya, Pemko Pekanbaru belum optimal berpihak pada peningkatan kesejahteraan warga, terutama masyarakat kelas bawah yang mengandalkan sektor informal sebagai ladang pencari nafkah mereka.
Khusus untuk Wali Kota Firdaus MT yang baru menginjak satu tahun usia pemerintahanya, keberpihakan pada pedagang kecil dan UKM terkesan minim. Sebaliknya, Firdaus MT justru lebih welcome dan membuka pintu lebar-lebar bagi pemilik modal skala nasional. Sebut saja 100 sampai 400 unit izin operasional untuk salah satu perusahaan taksi nasional, izin pembukaan 200 gerai minimarket kepada peritel nasional yang akan merangksek di 58 kelurahan di Kota Bertuah.
Firdaus MT terlihat seperti tengah memperhadap-hadapkan pengusaha lokal, pedagang kecil, toko kelontong rumahan dan UKM dengan raksasa ritel kelas nasional. Banyak sudah yang mengeluh dan menyuarakan penolakan. Tapi Firdaus bergeming.
Maka, seperti sering disindir oleh berbagai pakar sosial dan perkotaan, hukum rimba gaya baru dengan nama globalisasi, liberalisasi dan demokratisasi akan semakin memberikan keistimewaan kepada pihak yang menguasai ilmu dan teknologi, modal, manajemen dan pemasaran sebagai perwakilan masyarakat modern. Sementara masyarakat kecil yang identik dengan masyarakat tradisional semakin terpinggir dan dipinggirkan.
Terkait ancaman Pemko Pekanbaru yang akan memidanakan PKL dengan UU Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, dengan sanksi pidana penjara paling lama 18 bulan atau denda Rp1,5 miliar merupakan intimidasi dan teror bagi rakyat miskin. Bahkan menjadikan Perda sebagai senjata melawan “kebandelan” PKL pun masih bisa diperdebatkan.
Bukankah dalam ilmu hukum tidak hanya dikenal teori kebenaran pragmatis tapi juga teori kebenaran koheresi, yakni menggunakan perundang-undangan tidak bisa hanya mengambil sekehendak hati untuk kepentingan tertentu.
Merujuk pada UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, maka fakta keberadaan PKL juga terkait dengan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hak konstitusional ini bersifat mutlak dan Pemko Pekanbaru sebagai bagian pemerintahan bertanggung jawab memenuhinya. Sudah optimalkah pembinaan dan perlindungan Pemko kepada warga untuk bisa berusaha dan hidup layak? Sudahkah Wali Kota membuka iklim berusaha yang fair dan kondusif?
Wali Kota Firdaus MT sejauh ini hanya mengedepankan upaya penegakan aturan Perda, tapi abai dalam hal kewajiban membina dan melindungi iklim berusaha bagi warga.
Agaknya Firdaus MT lupa bahwa Pasal 13 UU nomor 09 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang mengisyaratkan bahwa pemerintah harus menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan. Sayangnya iklim usaha lebih dibuka bagi pemodal besar yanag jelas-jelas mengancam periuk nasi pedagang kecil di Kota Bertuah ini.
PERSOALAN keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di kota besar, termasuk kota Pekanbaru seolah sudah menjadi penyakit menahun yang tak kunjung sembuh. Berbagai cerita dan peristiwa menyangkut penertiban PKL hampir setiap hari meghiasi pemberitaan media massa.
Dalam hal ini hanya ada dua kubu yang masing-masing memiliki kepentingannya sendiri, yakni pemerintah kota sebagai penguasa dan kubu pedagang kaki lima (PKL) yang tak punya pilihan leluasa. Namun sejak lama dua pemilik kepentingan ini tidak pernah bisa dipertemukan, masing-masing bersikeras dan bertahan untuk mewujudkannya dengan berbagai alasan dan argumentasi.
Pemerintah Kota menyebut penertiban, sementara pedagang menganggap penertiban adalah penghalusan bahasa dari “penggusuran”.
Pemerintahan Kota (Pemko) Pekanbaru , berlindung di balik aturan Peraturan Daerah (Perda) No 11 Tahun 2001 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda tersebut memberikan payung hukum bagi Pemko melakukan penertiban dengan alasan untuk kepentingan pembangunan usaha dan peningkatan kesejahteraan pedagang kaki lima (PKL). Perda tersebut bahkan sebenarnya memerintahkan Wali Kota untuk melaksanakan kewajiban memberikan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan.
Sayangnya isyarat dari Perda tersebut menjadi klise, terutama di mata para pedagang kaki lima. Pasalnya, sebagai penyelenggara pemerintahan yang berkewajiban melakukan upaya pembangunan kesejahteraan warganya, Pemko Pekanbaru belum optimal berpihak pada peningkatan kesejahteraan warga, terutama masyarakat kelas bawah yang mengandalkan sektor informal sebagai ladang pencari nafkah mereka.
Khusus untuk Wali Kota Firdaus MT yang baru menginjak satu tahun usia pemerintahanya, keberpihakan pada pedagang kecil dan UKM terkesan minim. Sebaliknya, Firdaus MT justru lebih welcome dan membuka pintu lebar-lebar bagi pemilik modal skala nasional. Sebut saja 100 sampai 400 unit izin operasional untuk salah satu perusahaan taksi nasional, izin pembukaan 200 gerai minimarket kepada peritel nasional yang akan merangksek di 58 kelurahan di Kota Bertuah.
Firdaus MT terlihat seperti tengah memperhadap-hadapkan pengusaha lokal, pedagang kecil, toko kelontong rumahan dan UKM dengan raksasa ritel kelas nasional. Banyak sudah yang mengeluh dan menyuarakan penolakan. Tapi Firdaus bergeming.
Maka, seperti sering disindir oleh berbagai pakar sosial dan perkotaan, hukum rimba gaya baru dengan nama globalisasi, liberalisasi dan demokratisasi akan semakin memberikan keistimewaan kepada pihak yang menguasai ilmu dan teknologi, modal, manajemen dan pemasaran sebagai perwakilan masyarakat modern. Sementara masyarakat kecil yang identik dengan masyarakat tradisional semakin terpinggir dan dipinggirkan.
Terkait ancaman Pemko Pekanbaru yang akan memidanakan PKL dengan UU Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, dengan sanksi pidana penjara paling lama 18 bulan atau denda Rp1,5 miliar merupakan intimidasi dan teror bagi rakyat miskin. Bahkan menjadikan Perda sebagai senjata melawan “kebandelan” PKL pun masih bisa diperdebatkan.
Bukankah dalam ilmu hukum tidak hanya dikenal teori kebenaran pragmatis tapi juga teori kebenaran koheresi, yakni menggunakan perundang-undangan tidak bisa hanya mengambil sekehendak hati untuk kepentingan tertentu.
Merujuk pada UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, maka fakta keberadaan PKL juga terkait dengan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hak konstitusional ini bersifat mutlak dan Pemko Pekanbaru sebagai bagian pemerintahan bertanggung jawab memenuhinya. Sudah optimalkah pembinaan dan perlindungan Pemko kepada warga untuk bisa berusaha dan hidup layak? Sudahkah Wali Kota membuka iklim berusaha yang fair dan kondusif?
Wali Kota Firdaus MT sejauh ini hanya mengedepankan upaya penegakan aturan Perda, tapi abai dalam hal kewajiban membina dan melindungi iklim berusaha bagi warga.
Agaknya Firdaus MT lupa bahwa Pasal 13 UU nomor 09 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang mengisyaratkan bahwa pemerintah harus menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan. Sayangnya iklim usaha lebih dibuka bagi pemodal besar yanag jelas-jelas mengancam periuk nasi pedagang kecil di Kota Bertuah ini.