PEKANBARU -- Tindakan hukum atau mekanisme pidana yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah umur harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli
incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya, kecuali perbuatan kriminalnya sangat fatal seperti membunuh.
Demikian dikatakan anggota Komisi III DPRD Kota Pekanbaru Ade Hartati Rahmad MPd yang membidangi masalah Sosial dan Kesejahteraan. Ade setuju dengan kebijakan pihak Polresta Pekanbaru yang akan menerapkan mekanisme restorative justice atau diversi terhadap anggota geng motor di bawah umur yang ditangkap menyusul diciduknya pimpinan mereka, Klewang (58) belum lama ini. Meski diakuinya tindakan yang dilakukan pelajar dalam geng motor telah terjadi berkali-kali dan sudah menjadi keresahan.
“Bukan hanya Pekanbaru tapi Riau dan nasional sudah resah dengan keberadaan geng motor ini,” sebut Ade. Bagi yang sudah berkali-kali terbukti melakukan tindak pidana bahkan sampai melakukan pembunuhan, Ade setuju diproses hukum sebagaimana seharusnya.
“Harus diberlakukan undang-undang yang ada, meskipun mereka di bawah umur. Kalaupun di bawah umur jika membunuh harus diberikan hukum juga,” tegasnya kepada Pekanbaru MX.
Namun menurut Politisi PAN ini, kebijakan diversi yang akan diambil kepolisian untuk mereka yang terbukti baru sekali melakukan tindak kriminal, sejalan dengan Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengakomodasi prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan mempertimbangkan
tumbuh kembang anak.
Karena itu penting adanya prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dalam kasus geng motor ini. Proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, menurut Ade Hartati karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak.
"Justru dalam LP rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Bahkan bisa merusak perkembangan anak kedepannya," ujarnya.
Sementara itu Kapolresta Pekanbaru, Kombes Adang Ginanjar melalui Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Kompol Arief Fajar Satria mengatakan diversi akan diberikan bagi yang terbukti baru sekali melakukan perbuatan tindak pidana.
Saat ini dari 16 orang anggota geng motor yang ditangkap, ada tujuh orang anak usia belasan tahun yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat yang terbukti terlibat dalam sejumlah aksi kejahatan geng motor.
"Untuk yang tujuh orang pelajar itu, belum tentu semuanya diterapkan 'restorative justice'," katanya.
Hal itu menurut Arief Fajar karena berdasarkan fakta penyidikan dan sejumlah temuan di lapangan, beberapa anak justru telah berulang kali melakukan tindak kejahatan melawan hukum.
"Jika terbukti telah sering melakukan tindak kejahatan, maka tidak akan ada penerapan 'restorative justice' untuk para pelaku kalangan pelajar ini," ujar Arief Fajar.
Sesuai Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) yang dianut Indonesia, polisi sebagai institusi formal
Memiliki kewenangan dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan anak-anak, dimana ketika anak pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.
Selain itu, ada jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Bahkan Pengadilan Anak juga mempunyai kewenangan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh warga masyarakat. Epi Halimin, seorang praktisi pendidikan mengatakan, karena pelaku tidak mengindahkan hukum dan norma yang berlaku, penahanan anak pelaku kriminalitas perlu dilakukan.
"Setuju ditahan walau di bawah umur,kan orang tuanya ngk sanggup mendidik anaknya ,maka aparat kepolisianlah yg sanggup mendidiknya," katanya beralasan. ***
From: Eka Satria Taroesmantini Pekanbaru MX by BlackBerry®
incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya, kecuali perbuatan kriminalnya sangat fatal seperti membunuh.
Demikian dikatakan anggota Komisi III DPRD Kota Pekanbaru Ade Hartati Rahmad MPd yang membidangi masalah Sosial dan Kesejahteraan. Ade setuju dengan kebijakan pihak Polresta Pekanbaru yang akan menerapkan mekanisme restorative justice atau diversi terhadap anggota geng motor di bawah umur yang ditangkap menyusul diciduknya pimpinan mereka, Klewang (58) belum lama ini. Meski diakuinya tindakan yang dilakukan pelajar dalam geng motor telah terjadi berkali-kali dan sudah menjadi keresahan.
“Bukan hanya Pekanbaru tapi Riau dan nasional sudah resah dengan keberadaan geng motor ini,” sebut Ade. Bagi yang sudah berkali-kali terbukti melakukan tindak pidana bahkan sampai melakukan pembunuhan, Ade setuju diproses hukum sebagaimana seharusnya.
“Harus diberlakukan undang-undang yang ada, meskipun mereka di bawah umur. Kalaupun di bawah umur jika membunuh harus diberikan hukum juga,” tegasnya kepada Pekanbaru MX.
Namun menurut Politisi PAN ini, kebijakan diversi yang akan diambil kepolisian untuk mereka yang terbukti baru sekali melakukan tindak kriminal, sejalan dengan Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengakomodasi prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan mempertimbangkan
tumbuh kembang anak.
Karena itu penting adanya prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dalam kasus geng motor ini. Proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, menurut Ade Hartati karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak.
"Justru dalam LP rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Bahkan bisa merusak perkembangan anak kedepannya," ujarnya.
Sementara itu Kapolresta Pekanbaru, Kombes Adang Ginanjar melalui Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Kompol Arief Fajar Satria mengatakan diversi akan diberikan bagi yang terbukti baru sekali melakukan perbuatan tindak pidana.
Saat ini dari 16 orang anggota geng motor yang ditangkap, ada tujuh orang anak usia belasan tahun yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat yang terbukti terlibat dalam sejumlah aksi kejahatan geng motor.
"Untuk yang tujuh orang pelajar itu, belum tentu semuanya diterapkan 'restorative justice'," katanya.
Hal itu menurut Arief Fajar karena berdasarkan fakta penyidikan dan sejumlah temuan di lapangan, beberapa anak justru telah berulang kali melakukan tindak kejahatan melawan hukum.
"Jika terbukti telah sering melakukan tindak kejahatan, maka tidak akan ada penerapan 'restorative justice' untuk para pelaku kalangan pelajar ini," ujar Arief Fajar.
Sesuai Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) yang dianut Indonesia, polisi sebagai institusi formal
Memiliki kewenangan dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan anak-anak, dimana ketika anak pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.
Selain itu, ada jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Bahkan Pengadilan Anak juga mempunyai kewenangan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh warga masyarakat. Epi Halimin, seorang praktisi pendidikan mengatakan, karena pelaku tidak mengindahkan hukum dan norma yang berlaku, penahanan anak pelaku kriminalitas perlu dilakukan.
"Setuju ditahan walau di bawah umur,kan orang tuanya ngk sanggup mendidik anaknya ,maka aparat kepolisianlah yg sanggup mendidiknya," katanya beralasan. ***
From: Eka Satria Taroesmantini Pekanbaru MX by BlackBerry®