Catatan Eka satria
DATANGLAH ke setiap pasar tradisional di kota Pekanbaru, ada janji yang tertinggal di benak setiap pedagang. Itu karena ingatan para pedagang selalu lebih kuat ketimbang ingatan mereka yang ada di pusat-pusat kekuasaan.
Janji itu ditabur oleh Wali Kota Firdaus MT. Sejak setahun lebih menakhodai Kota Pekanbaru, beberapa janji sudah digelontorkan kepada para pedagang. Sebutlah misalnya yang paling anyar dan selalu jadi bahan gunjingan di media dan warung-warung kopi: penyelesaian pembangunan Pasar Cik Puan.
Dalam beberapa kesempatan, Firdaus MT masih melontarkan komitmennya untuk melanjutkan tanggung jawab meneruskan pembangunan pasar yang menjadi tumpuan lebih 700 pedagang itu. Sayangnya sengketa lahan dengan pihak Pemprov Riau menjadi batu sandungan bagi Pemko untuk memutuskan meneruskan pembangunan fisik pasar.
Tapi sejak Rabu (6/3) lalu dalam pembicaraan dengan pihak Pemprov, sandungan itu sudah disingkirkan. Pemprov memberi keleluasaan kepada Pemko Pekanbaru untuk mengelola Pasar Cik Puan, walaupun status aset tetap akan dicatat dalam daftar aset milik Pemprov. Apakah setelah bebas dari satu sandungan itu Pemko akan menepati janjinya meneruskan pembangunan Pasar Cik Puan? Kita tunggu.
Tak berhenti di Pasar Cik Puan, Cu Fidau, panggilan akrab Firdaus MT juga sudah menabur janji lain: ia berencana menjadikan kawasan Pasar Agus Salim sebagai kawasan Pasar Kuliner dan seni. Mirip dengan kawasan Malioboro di Jogja sana.
Selesai janji untuk Pasar Agus Salim, kita disuguhkan lagi dengan janji sang Wali Kota di tempat lain. Pasar Limapuluh, di jalan SSQ II pinggiran Sungai Siak, hendak disulap pula menjadi pasar seni, terutama untuk menampung berbagai produk seni Melayu. Bahkan DED (detail engineering design) konon sudah dibuat dan diajukan ke Kementrian Perdagangan RI. Apakah rencana tersebut bisa direalisasikan atau tidak, kita tak bakal mendapat jawaban dari Wali Kota, kecuali kepada waktu: tunggu saja.
Semua rencana tersebut tentu sah-sah saja. Masuk akal. Hanya saja, berkaca pada perjalanan Firdaus memimpin Pekanbaru setahun terakhir, publik menjadi skeptis apakah rencana rencana tersebut bisa diwujudkan atau hanya sekadar pemanis saja, menjadi bahan obrolan di warung-warung kopi. Tak jelas ujung pangkalnya.
Rupanya Wali Kota kita ini doyan berjanji. Masih ada sederet janji lain terkait perbaikan nasib pedagang pasar dan pedagang kaki lima (PKL) yang ia lontarkan ke publik. Menyebutkan satu persatu di ruang sempit ini sepertinya buang-buang waktu. Sebab publik pun sudah mengetahuinya karena hampir setiap hari janji itu mereka telan dari berita di koran-koran.
Berjanji boleh saja, tapi mana prioritas mana urgensi apalagi realisasi, tidak jelas. ***