Laporan Eka Satria, Pekanbaru
MARAKNYA sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang beroperasi di Riau membuat prihatin banyak pihak. Tak terkecuali Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) H Tenas Effendy menyesalkan terjadinya konflik yang berkepanjangan.
Menurut Tenas, Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) sudah pernah membicarakan masalah konflik agraria tersebut dalam Sidang Majelis Kerapatan Adat di Balai Adat Melayu Riau dan berupaya mencarikan solusinya.
“Kita soroti , yakni keserasian dan keselarasan hubungan antara masyarakat adat Melayu Riau dengan perusahaan,” ungkap H Tenas Effendy.
Dijelaskan Tenas, keserasian antara masyarakat adat dengan para pengusaha dan perusahaan perlu dibina dan dikekalkan supaya kedua pihak dapat bekerja sama secara arif, bijak, adil dan merata serta mendatangkan manfaat bagi semua pihak.
Mengenai ekses dari konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan yang bahkan sampai membuat tindakan nekad warga dengan aksi bakar diri seperti yang terjadi di Pulau Padang terkait sengketa lahan milik salah satu perusahaan HTI di Kepulauan Meranti, Tenas Effendi mengecam tindakan tersebut.
“Aksi bakar diri itu tidak sesuai dengan adat istiadat serta marwah masyarakat Melayu. Karena bagaimana pun juga, bakar diri termasuk dengan bunuh diri yang jelas-jelas dilarang oleh agama Islam,” sesalnya.
Karena itu, tokoh adat dan budaya Melayu Riau yang sangat dihormati ini minta agar persoalan konflik agraria harus menjadi perhatian oleh banyak pihak yang terlibat dalam kasus konflik lahan ini, baik dari anggota dewan yang duduk di DPRD maupun yang duduk di DPR RI. Karena permasalahan yang ada ini merupakan tanggung jawab semua untuk lebih peduli kepada nasib masyarakat.
Ketua Harian LAM Riau Al Azhar yang dimintai pendapatnya, menilai potensi konflik agraria di Riau antara perusahaan dengan warga cukup tinggi. “Jadi, Perlu adanya rumusan dari berbagai pihak untuk mendinginkan potensi konflik ini. Kita bisa duduk bersama mencari rumusan dengan mendengarkan multi pihak, demi kesejahteraan masyarakat Riau ke depan,” ujarnya.
Menurut Al Azhar, hak masyarakat adat itu sesuatu hal yang perlu dibela karena terancam ataupun dirampas. Hutan tanah selain berfungsi sebagai simbol marwah, juga berfungsi sebagai sumber pembentukan budaya, dan fungsi ekonomi.
“Masyarakat adat selama ini lebih diposisikan sebagai kelompok yang dikeluarkan dari perkembangan ekonomi di provinsi ini,” simpulnya.
Seperti diketahui konflik atau sengketa lahan makin memburuk antara masyarakat hukum adat dengan beberapa perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) terjadi di bebarapa tempat. Misalnya antara masyarakat Desa Titi Akar Kecamatan Rupat Utara Kabupaten Bengkalis dengan PT Marita Makmur Jaya. Kemudian antara masyarakat Desa Sinama Nenek Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar dengan PT PN V dan kasus masyarakat Desa Danau Lancang Kabupaten Kampar dengan PT RAKA. Sementara itu konflik juga terjadi antara PT Andika Permata Sawit Lestari (PT ASPL) yang beroperasi di kawasan perbatasan Kabupaten Rokan Hilir dan Rokan Hulu dengan masyarakat setempat.
Senin (21/10) lalu bahkan ratusan warga yang datang bersama sebuah ormas menggelar demonstrasi di kantor PTPN V di Tapung Hulu yang berakhir dengan bentrokan. Polisi menahan 38 orang yang terlibat kerusuhan itu, dan 11 diantaranya adalah warga setempat. 32 bom molotov, satu pucuk senapan angin dan senjata tajam disita polisi.
Sengketa lahan PTPN V dengan warga Sinama Nenek sudah terjadi sejak awal tahun 2000, dan belum ada penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak mulai dari negosiasi politik melibatkan pemerintah pusat hingga pengadilan. Warga mengklaim perusahaan telah mencaplok sekitar 2.800 hektare tanah adat (ulayat) dan ditanami sawit.
Kepolisian Diminta Fair:
Yang sangat disayangkan, dalam beberapa konflik, pihak kepolisian dianggap warga tidak berlaku fair dan cenderung berpihak pada perusahaan. Hal situ seperti yang terjadi dalam konflik antara PT Andika Permata Sawit Lestari (PT ASPL) di perbatasan Rohil-Rohul. Dalam bentrok antara warga dengan orang-orang suruhan perusahaan, warga cenderung pada posisi dipersalahkan.
Anggota Komisi I DPRD Rokan Hilir, HM Bachid Hamid ikut menyayangkan sikap pihak keamanan yang kurang memuaskan warga.
"Yang kita sayangkan pihak Kapolres kurang berbuat untuk memberikan rasa aman padan penduduk. Ini kan sangat aneh. Maka tak usah heran kalau penduduk beranggapan polisi telah berpihak pada PT ASPL," kata Hamid melalui sambungan selulernya. Maulana Saragih, salah seorang warga menuturkan kepada Pekanbaru MX, kesewenangan perusahaan dengan menguasa lahan milik petani sudah melewati batas karena terjadi pembakaran lahan dan rumah.
Bahkan, menurut Maulana kejadian penyerangan oleh orang-orang yang diduga bayaran PT ASPL ke desa Jorong XVII yang pernah dilakukan berakhir dengan dipersalahkannya warga oleh pihak kepolisian.***
foto oleh riauterkini.com