-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

(Tak) Melayu Hilang di Pekan

| Agustus 29, 2013 WIB
Liputan Eka Satria, Pekanbaru

“Tak Melayu Hilang di Bumi”

Begitu Hang Tuah, Pahlawan orang Melayu yang sangat legendaris itu berazam. Ia mungkin benar untuk kenyataan sampai hari ini bahwa orang Melayu, suku Melayu yang berdiam di sepanjang timur pulau Sumatera hingga di Malaka masih ada. Hanya saja identitas Melayu sebagai salah satu etnis yang terkenal di dunia perdagangan masa lalu, kini terasa pupus jejaknya terutama di Kota Pekanbaru.

Andaikata hari ini Hang Tuah berkesempatan berkunjung ke Kota Pekanbaru boleh jadi pendekar perkasa tersebut agak sedikit mengurut dada, menarik nafas dan mengeluh. Sulit mencari sosok pedagang Melayu di pasar-pasar tradisional. Melayu yang tersohor sebagai etnis pedagang masa lalu kini hanya menjadi romantisme bagi Melayu yang hidup di alam moderen.


Kota Pekanbaru yang pada 15 tahun silam masih tergolong tertinggal dibanding kota-kota lain di Sumatera, kini sudah bersalin rupa. Jika dulu hanya ada satu pusat keramaian yang paling digandrungi warga kota yakni Pasar Pusat, kini segala macam mall sudah ada, pusat-pusat perbelanjaan dan ritel menjamur, gedung tinggi berlomba-lomba menyentuh langit, perkulakan juga sudah menancapkan kukunya semisal Lotte Mart, Giant, Hypermart dan Indo Grosir. Gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat pun ikut berubah. Dan yang pasti, semuanya nyaris dilakoni saudagar-saudagar kelas nasional dan non Melayu.

Pekanbaru MX yang mencoba menyusuri Pasar Bawah dan Pasar Pusat Sukaramai, dua pasar terbesar di Pekanbaru, mendapati kenyataan bahwa memang tak mudah menemukan pedagang yang berasal dari etnis Melayu. Mayoritas pedagang di dua pasar tersebut didominasi oleh orang-orang Minangkabau, Jawa dan Batak.

“Rata-rata ya di sini yang berdagang orang Minang. Jawa dan Batak. Mungkin ada juga satu dua yang orang Melayu tapi tidak begitu menonjol, jarang kita dengar,” jelas Ibu Linda yang berjualan nasi dan minuman di Lantai dasar Pasar Bawah. Ia yang sehari-hari melayani banyak pedagang Pasar Bawah bahkan mengaku tak mengetahui persis apakah ada pedagang Pasar Bawah yang berasal dari etnis Melayu.

“Orang Melayu itu biasanya lebih suka menjadi nelayan, ke laut. Itu banyak di daerah tempat tinggal saya di Tanjung Rhu.,” tukuk Ibu Linda saat berbincang dengan Pekanbaru MX, Ahad (23/8) lalu.

Di kawasan tepian Sungai Siak yang banyak dihuni oleh masyarakat keturunan Melayu, sebenarnya ada juga aktifitas perdagangan yang dilakoni orang Melayu. Ketika Pekanbaru MX bertandang ke salah satu warung tenda yang banyak berderet di Jalan Meranti, Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Senapelan, ketepatan pemiliknya adalah seorang perempuan keturunan Melayu. Yulita yang berusia 50 tahun ini sudah berjualan di sana sejak lima tahun silam.

“Kalau dibilang berdagang, sebenarnya tidak tepat. Kami ini hanya berjualan kopi dan mie rebus, jualan jus dan rokok,” katanya menolak disebut sebagai pedagang. “Kalau pedagang itu ya seperti di pasar-pasar, punya toko. Kalau kami ini samalah macam warung. Modalnya pun bisa diterka,” sambung Ibu Yulita. Dulu sebelum berjualan minuman dan mie rebus di pinggiran Sungai Siak, Ibu Yulita bekerja sebagai buruh di negeri jiran Malaysia.

Nyonya Eli, perempuan Melayu lainnya yang tinggal di Kelurahan Kampung Baru ikut nimbrung. Mendengar kata “Melayu” berulangkali meluincur dari perbincangan Pekanbaru MX dengan Ibu Yulita, ia pun kemudian bersemangat menceritakan hal-ikhwal orang Melayu.

“Saya ini juga orang Melayu lho!” sergahnya. Perempuan berkulit kuning langsat dan mata yang terlihat besar dan indah di usianya yang mendekati separo abad itu mengakui bahwa minat berdagang orang Melayu memang minim.

“Kami orang Melayu ini rata-rata lebih suka menjadi pegawai atau bekerja dengan orang. Kalau yang berdagang boleh dikatakan jarang ya. Kalaupun ada mungkin dari sepuluh orang pedagang satunya orang Melayu. Kalau tidak jadi pegawai, biasanya pekerjaan kayu-kayuan atau di kelapa sawit. Yang jadi nelayan pun banyak,” terang Ibu Eli.

Tak heran bila sampai saat ini tak pernah terdengar semacam organisasi perkumpulan pedagang Melayu di Kota Pekanbaru. Ibu Eli pun mengakui dirinya tidak mengetahui apakah ada organisasi pedagang Melayu atau tidak.

“Di Pekan ini (Pekanbaru – red) orang Melayu kan berpuak-puak juga. Ada puak Bengkalis, puak Siak dan macam-macam. Tidak kompak seperti orang Minang. Mereka banyak organisasinya,” tambah Ibu Eli.

Jika kehidupan pedagang dikenal sebagai kehidupan yang membutuhkan keuletan, kerja keras dan tak mudah patah semangat, tidak berarti tipikal sebaliknya serta merta bisa disematkan kepada orang-orang Melayu yang tidak meminati dunia perniagaan di pasar-pasar.

Budayawan Melayu, Al Azhar, yang juga Pengurus Lembaga Adat Melayu Riau secara tegas membantah anggapan yang mendudukan orang Melayu dengan stereotip pemalas, tidak ulet atau tidak bersemangat.

"Anggapan bahwa orang Melayu pemalas itu merupakan konstruksi dari bangsa barat yang menjajah kita. Mereka beranggapan orang Melayu itu pemalas karena misalnya hingga jam 10.00 tiap pagi masih nongkrong di kedai kopi," kata Azhar.

Padahal yang benar, ujar Azhar adalah orang Melayu yang duduk di kedai kopi itu merupakan nelayan yang bekerja pada malam hari, bahkan bisa semalaman mengarungi lautan mencari ikan. Menurut Azhar bangsa penjajah dulu sengaja memitoskan sifat malas tersebut demi kepentingan penguasaan daerah jajahannya.

Tokoh Melayu yang sangat disegani, Tengku Nasaruddin Said (Tenas) Effendy juga membantah anggapan miring tentang orang Melayu yang lebih memilih menjadi kuli.

"Melayu bukan bangsa kuli. Orang Melayu umumnya tak mau menjadi kuli," kata Tenas Effendy menegaskan.

Dari Senapelan Pasar Dirintis


Senapelan, yang menjadi cikal bakal Kota Pekanbaru oleh musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar) pada 23 Juni 1784 M, diganti namanya menjadi "Pekan Baharu". Boleh jadi demi semangat menghidupkan kota dengan aktifitas perniagaan orang Melayu dengan bangsa-bangsa lain.

Senapelan, kawasan di tepi Sungai Siak yang pada awal abad ke 18 merupakan pasar (pekan) yang penting artinya dalam distribusi hasil bumi dari pedalaman dan dataran tinggi Minangkabau (Sumatera Barat) ke wilayah pesisir timur pulau Sumatera untuk selanjutnya menuju Malaka. Usaha menciptakan pasar (pekan) yang digagas Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali tentu saja demi memberi ruang yang lebih tertata dan hidup bagi aktifitas perniagaan orang Melayu.

Tapi Jalan Senapelan dan sekitarnya saat ini justru dihidupkan oleh pedagang-pedagang dan bisnisman Tionghoa ketimbang orang Melayu. Tak heran jika merujuk kawasan pecinan, maka Senapelan adalah daerah yang dimaksud.

Pengamat Perkotaan Ir. Rony Ardiansyah, MT menjelaskan bagaimana Kawasan Senapelan bermula. Menurut Rony, sebenarnya kata Senapelan itu berasal dari nama sebuah jalan yang terletak antara Pasar Bawah dan Pasar Kodim. Kenapa jalan itu bernama Senapelan?

“Orang Belandalah yang memberi nama seperti itu. Jalan itu, yang kini bernama Jalan Senapelan terletak di bagian kiblat dan sedikit melingkari Masjid Raya Pasar Bawah tembus melewati RS Tentara kemudian melengkung tembus ke jalan yang sekarang bernama Jalan Ahmad Yani.”

“Oleh orang Belanda dahulu jalan tersebut dinilai jalan yang strategis, jalan yang tersembunyi, tidak kelihatan seperti ada jalan sehingga dapat menyebabkan orang menyelinap atau meloloskan diri. Hingga jalan tersebut dinamakan “Ontsnappen overslaan” yang terjemahan bebasnya ‘jalan menyelinap untuk membebaskan diri’.Logat Melayu kemudian menyebutnyam menjadi Senapelan,” jelas Rony.

Hilangnya peran orang Melayu di kawasan Senapelan dalam bidang perdagangan dan bisnis tak terlepas dari dampak sikap mental orang Melayu yang terkenal sangat terbuka. Sehingga tak ada resistensi atau penolakan yang ditunjukkan orang Melayu tehadap perbauran mereka dengan pendatang dari luar.


Mengenai sifat terbuka orang Melayu ini, juga disinggung budayawan Azhar yang juga Pengurus Lembaga Adat Melayu.

“Entitas Melayu seperti air, yang cair sehingga semua masuk, menyatu, dan memengaruhi dan memunculkan persaudaraan,” ujarnya. Hal itu pada akhirnya akan membentuk semacam semangata persaudaraan antara orang Melayu dan Non Melayu.

Sayangnya, menurut Azhar pada semangat persaudaraan itu, sering kali orang dan budaya Melayu kalah dan terpinggirkan. Ia mengambil contoh dalam hal sumber daya alam. Hasilnya, 65 persen daratan Riau yang mayoritas dihuni orang Melayu dikuasai badan usaha milik negara atau swasta nasional,” kata Al Azhar prihatin.

Naluri bisnis orang Melayu sebenarnya sudah terbentuk sejak lama. Bahkan hingga tahun 1960 an orang Melayu masih aktif dalam perdagangan lintas pulau dan negara. Pemerhati masalah Melayu, Ferry Santoso bahkan mencatat tahun 1960-an orang Melayu secara leluasa berdagang ke Singapura dan Johor dengan sampan. Komoditas utama yang dibawa ke negeri jiran tersebut misalnya ikan dan kopra.

Saat kembali dari Singapura, mereka pun membawa barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras, gula, atau terigu untuk dikonsumsi sendiri maupun diperdagangkan kembali. Barang-barang tersebutlah yang kemudian disebar ke berbagai tempat.

Dalam laporan Direktorat Ekspor Tanjung Pinang tahun 1963, disebutkan beberapa komoditas yang diperdagangkan masyarakat Melayu dengan Singapura dan Malaysia. Komoditas itu antara lain ikan dan hasil laut, karet, kopra, sagu, nanas, dan lada.

Pertukaran komoditas pun terjadi, dimana saat mereka kembali ke Riau, juga membawa barang-barang dari Singapura dan Malaysia. Misalnya, barang pangan, sandang, dan barang lain.

Peran penting puak Melayu dalam dunia perdagangan setidaknya meninggalkan bekas yang nyata hingga kini. Salah satunya adalah bahasa Melayu yang dulu menjadi bahasa pergaulan di dunia perdagangan atau lingua franca, kini menjadi bahasa Indonesia.

Bahkan kalau mau dirunut, di berbagai wilayah di nusantara, terutama di kawasan pesisir selalu ada yang namanya Kampung Melayu. Hal itu membuktikan orang Melayu sejak dulu sudah menjadi saudagar lintas pulau yang canggih.

Hanya saja, sejak ditemukannya ladang minyak dan datangnya perusahaan Caltex serta pertumbuhan perkebunan sawit, banyak orang-orang Melayu mencoba peruntungan untuk bekerja di berbagai perusahaan minyak dan perkebunan sawit. Gelombang migrasi orang Melayu dari luar Pekanbaru juga semakin besar tatkala Pasca-PRRI dan ditetapkannya Pekanbaru sebagai ibu kota propinsi menggantikan Tanjaungpinang. Tujuannya tak lain bekerja sebagai pegawai negeri di kantor pemerintah daerah. Sektor perdagangan tak lagi diminati.

Semangat Kewirausahaan Melayu

Namun ekonom DR. H. Zulkarnain SE MM tetaapa meyakini bahwa jiwa kewirausahaan dalam budaya Melayu merupakan bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat. Kebiasaan berdagang dan berjual beli tidak hanya dilakukan Raja atau Sultan tetapi juga oleh masyarakat.

“Kebiasaan berdagang dan berjual beli telah lama tertanam dalam masyarakat Melayu, terutama dilakukan di daerah pesisir dan sungai yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat. Bahkan diawali melalui perdagangan barter sampai dengan perdagangan dengan menggunakan mata uang,” jelas Zulkarnain.

Menurutnya nilai-nilai kewirausahaan ditunjukkan oleh sang pemimpin terhadap rakyatnya, artinya masyarakat tidak hanya menanam, berproduksi dan menghasilkan sesuatu tetapi lebih dari itu harus mampu menjual hingga sampai kengeri orang lain . Falsafah inilah yang melandasi bahwa orang Melayu itu pandai berdagang, melaut dan berlayar hingga sampai ke Madagaskar.

Naluri bisnis dan kemampuan kewirausahaan tersebut misalnya ditunjukkan oleh Dinawati Sag, seorang perempuan Melayu yang kini sukses dengan usaha makanan khas Riau yang dirintisnya yakni Bolu Kemojo Al Mahdi .

Bolu Kemojo sebetulnya sudah lama dikenal masyarakat Melayu Riau namun tak ada yang berminat mengembangkannya menjadi lahan bisnis. Oleh Dinawati, potensi kuliner orang Melayu tersebut ia lirik sebagai warisan lama yang abisa mendatangkan keuntungan finansial yangaa tak sedikit.

"Di Yogya ada Bakpia Patok, di Medan ada Bika Ambon, di Padang Keripik Sanjai, di Riau apa? Pikir saya waktu itu, kalau orang datang ke Riau, dia harus tahu kue Melayu termasuk bolu kumojo ini," ujar Dina tentang obsesinya menonjolkan Kemelayuan di bidang kuliner.

Kini Bolu Kemojo produksi Dinawati terus berkembang. Berbagai makanan khas Melayu Riau pun ia kemas menarik seperti Sempolet, Bubou Lambouk, Pindang Lomek, Asam Pedas Kepughun dan lain-lain.

"Mesti ada kejelian dalam memandang keadaan. Saya pun terus berusaha menumbuhkan jiwa wirausaha saya," tutur Dina yanga kini sudah beromset sekitar Rp 20 juta - Rp 25 juta perbulannya. Dari Jalan Rajawali No 72 D Kelurahan Kampung Melayu Sukajadi, Pekanbaru, wanita kelahiran Bengkalis, 21 Agustus 1971 ini terus mengembangkan usahanya.

Apa yang ditunjukkan Dina sebenarnya membenarkan kesimpulan ekonom Zulkarnain di atas bahwa orang Melayu juga punya mentalitas kewirausahaan yang mumpuni. Hal itu sebenarnya juga bisa dilihat dari deretan pengusaha Melayu yang sukses di Riau. Misalnya Gerakan Sejuta Melayu atau Genta Melayu yang digagas salah seorang pengusaha bersama tokoh-tokoh Melayu Riau sejak 2009 dalam cakupan yang lebih luas yakni Riau, hingga kini mampu berkembang dengan pesat. Dari rapat umum pemegang saham (RUPS) PT GMS, Juni lalua di Hotel The Premiere, Pekanbaru diketahui PT Genta Melayu Serumpun dengan tiga unit usaha pada tahun 2012 saja sudah mampu meraup laba sebesar Rp600 juta dengan total aset yang sudah mencapai Rp4,4 miliar,

Demikian juga untuk cakupan Kota Pekanbaru, demi memajukan peran orang Melayu dalam sektor perdagangan dan bisnis, jika orang-orang seperti Dinawati tersebut diberi peluang berkembang oleh Pemko Pekanbaru, maka Pekanbaru yang berazam menjadi kota metropolitan akan sangat membutuhkan peran penting orang-orang Melayu, hingga tak ada lagi cemoohan “(tak) hilang Melayu di Pekan” atau dengan kata lain akan semakin mudah menemukan orang Melayu di dunia bisnis dan perdagangan, khususnya di Kota Pekanbaru.***